Bolehkah shalat di kendaraan? Jawabannya boleh, namun anjurannya untuk shalat sunnah. Namun baiknya simak bahasan berikut ini.
Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani
Kitab Shalat – Bab Syarat-Syarat Shalat
Menghadap kiblat saat shalat sunnah
Hadits #213
وَعَنْ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ – رضي الله عنه – قَالَ : – رَأَيْتُ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
زَادَ اَلْبُخَارِيُّ : – يُومِئُ بِرَأْسِهِ , وَلَمْ يَكُنْ يَصْنَعُهُ فِي اَلْمَكْتُوبَةِ
Dari ‘Amir bin Rabi’ah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di atas kendaraannya ke arah mana saja kendaraan itu menghadap.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 1093 dan Muslim, no. 701]
Al-Bukhari menambahkan, “Beliau memberi isyarat dengan kepalanya, namun beliau tidak melakukannya pada shalat wajib.”
Hadits #214
وَلِأَبِي دَاوُدَ : مِنْ حَدِيثِ أَنَسٍ : – كَانَ إِذَا سَافَرَ فَأَرَادَ أَنْ يَتَطَوَّعَ اِسْتَقْبَلَ بِنَاقَتِهِ اَلْقِبْلَةِ , فَكَبَّرَ , ثُمَّ صَلَّى حَيْثُ كَانَ وَجْهَ رِكَابِهِ – وَإِسْنَادُهُ حَسَنٌ
Abu Daud meriwayatkan dari hadits Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa jika beliau hendak bepergian dan kemudian ingin shalat sunnah maka beliau menghadapkan untanya ke arah kiblat. Beliau bertakbir kemudian shalat menghadap ke arah mana saja kendaraannya menghadap. (Sanad hadits ini hasan). [HR. Abu Daud, no. 1225. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan menilai hadits ini hasan. Hadits ini disahihkan oleh Ibnu Al-Mulaqqin, dinukilkan penilaian sahihnya dari Ibnus Sakan. Ditambahkan riwayat Anas oleh Ibnu Hajar sebagai tambahan yang tidak terdapat dalam shahihain di mana saat takbiratul ihram tetap menghadap kiblat].
Keterangan hadits
- Yang dimaksud shalat di sini adalah shalat sunnah ketika safar sebagaimana disebutkan dalam riwayat Bukhari. Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa beliau melakukan ini saat shalat malam.
- “Rohilah” yang dimaksud adalah unta jantan atau betina yang ditunggangi.
- Dalam hadits disebutkan “haytsu tawajjahat”, ke mana saja kendaraan itu menghadap saat si pengendara shalat, terserah menghadap ke arah kiblat ataukah tidak.
- Kalimat “beliau memberi isyarat dengan kepalanya” maksudnya adalah memberi isyarat untuk rukuk dan sujudnya.
- Kalimat “namun beliau tidak melakukannya pada shalat wajib” maksudnya adalah shalat di hewan tunggangan tidaklah dilakukan saat shalat wajib.
- Dalam hadits Anas disebutkan bahwa beliau bertakbir (yaitu takbiratul ihram) setelah menghadap kiblat. Di sini pakai lafazh “fakabbaro”, artinya pada takbir itu lebih diperhatikan karena terkait langsung dengan niat (muqorinan lin niyyah), maka saat takbiratul ihram menghadap kiblat. Setelah itu dalam lafazh hadits digunakan kalimat “tsumma sholla”, artinya kemudian shalat.
Faedah hadits
Pertama: Hadits ini jadi dalil mengenai disyariatkannya shalat sunnah saat safar seperti dua rakaat shalat Dhuha, begitu pula shalat malam, dan shalat sunnah wudhu atau selain itu.
Adapun shalat sunnah rawatib yaitu rawatib Zhuhur, Maghrib, Isya, disunnahkan untuk ditinggalkan saat safar. Yang dijaga adalah shalat sunnah Fajar saat safar karena terus dijaga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mukim maupun bersafar.
Imam Ahmad pernah ditanya mengenai hukum melakukan shalat sunnah ketika safar. Beliau menjawab, “Aku harap melakukan shalat sunnah ketika safar tidaklah masalah.” (Dinukil dari Zaad Al-Ma’ad, 1:456)
Ini berarti shalat sunnah boleh dilakukan ketika safar. Sebagaimana dibuktikan pula dari hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يُسَبِّحُ عَلَى ظَهْرِ رَاحِلَتِهِ حَيْثُ كَانَ وَجْهُهُ ، يُومِئُ بِرَأْسِهِ ، وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَفْعَلُهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat sunnah di atas kendaraannya menghadap ke arah kendaraan mengarah, beliau berisyarat dengan kepalanya.” Ibnu ‘Umar pun melakukan yang demikian. (HR. Bukhari, no. 1105).
Yang membuktikan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menjaga shalat sunnah fajar dapat dilihat pada perkataan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, di mana ia berkata,
لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – عَلَى شَىْءٍ مِنَ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مِنْهُ تَعَاهُدًا عَلَى رَكْعَتَىِ الْفَجْرِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memiliki perhatian yang luar biasa dalam menjaga shalat sunnah selain shalat sunnah fajar.” (HR. Bukhari, no. 1169)
Meskipun orang yang bersafar mendapatkan keringanan seperti di atas, namun ia akan dicatat mendapatkan pahala seperti ia mukim. Ketika safar ia mengerjakan shalat dua rakaat secara qashar, maka itu dicatat seperti mengerjakannya sempurna empat rakaat. Itulah kemudahan yang Allah berikan bagi hamba-Nya. Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Jika seseorang sakit atau bersafar, maka dicatat baginya pahala sebagaimana ia mukim atau ketika ia sehat.” (HR. Bukhari, no. 2996)
Baca Juga: Manhajus Salikin: Menjamak Shalat Karena Safar
Kedua: Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang shalat sunnah saat safar di atas kendaraan boleh menghadap ke arah kendaraannya berjalan, ia tidak diharuskan menghadap kiblat. Hadits ini tidaklah membedakan untuk safar jauh dan safar pendek. Seseorang yang shalat sunnah di mobil, di pesawat, di kapal, maka gugur baginya menghadap kiblat, ia cukup shalat menghadap ke arah kendaraannya berjalan. Namun jika memungkinkan untuk menghadap kiblat dan menunaikan shalat dengan cara seperti tidak berada di atas kendaraan–hal ini bisa kita lihat di kapal yang ada zaman ini atau di pesawat–, maka hendaklah tetap menghadap kiblat.
Ketiga: Hadits ini menunjukkan menghadap kiblat cukup saat takbiratul ihram saja untuk shalat sunnah di atas kendaraan. Sebagian ulama menganggap seperti ini wajib, seperti pendapat dalam madzhab Hambali. Pendapat inilah yang lebih hati-hati jika memang memudahkan. Jika sulit, maka menghadap ke arah kendaraan itu berjalan dari awal shalat sampai akhir tetaplah sah sebagaimana pengamalan hadits yang tidak menyebutkan pengecualian takbiratul ihram (seperti hadits Anas). Riwayat yang tidak menyebutkan pengecualian itu lebih sahih dan lebih banyak, sehingga itulah yang jadi pegangan jumhur ulama (kebanyakan ulama) dan juga merupakan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.
Keempat: Hadits ini jadi dalil bahwa musafir yang melaksanakan shalat sunnah di kendaraan berisyarat ketika rukuk dan sujud. Di sini nampak bahwa isyarat rukuk dan sujud tidak dibedakan. Namun ada hadits dari Jabir radhiyallahu ‘anhu sebagai berikut.
Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya dalam suatu hajat, lantas ia datang dan shalat di atas kendaraan menghadap ke arah timur, di mana ketika sujud ia lakukan lebih rendah daripada rukuk. (HR. ‘Abdur Razaq, 4521; Ahmad, 22:61; Tirmidzi, no. 351; Abu Daud, no.1227. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih. Imam Al-Baghawi dalam Syarh As-Sunnah, 4:189 menyatakan bahwa hadits ini sahih).
Kelima: Shalat wajib tidaklah dilakukan di atas kendaraan, bahkan shalat wajib dilakukan dengan turun, lalu shalat di atas tanah. Sebab shalat wajib hanyalah sedikit dibandingkan dengan shalat sunnah. Demikian juga ketika seseorang di pesawat sebisa mungkin shalat sambil berdiri untuk shalat wajib.
Catatan: Jika di pesawat atau kapal tidak ada tempat khusus untuk shalat, lalu waktu shalat sudah masuk dan kendaraan terus berjalan, kemudian khawatir luput dari waktu shalat bila mesti menunggu “landing” atau berlabuh di pelabuhan, juga shalat tersebut tidak mungkin dijamak dengan shalat lainnya, maka ia shalat sesuai keadaannya. Jika ia mampu shalat sambil berdiri, lalu rukuk dan sujud, maka ia lakukan seperti itu. Jika ia tidak mampu shalat sambil berdiri, maka ia shalat sambil duduk, dan ia berisyarat untuk rukuk dan sujud. Hal ini adalah pengamalan dari firman Allah Ta’ala,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghabun: 16).
Menurut ijmak (kesepakatan ulama) bahwa wajib bagi setiap mukallaf (yang sudah dibebani kewajiban) agar melaksanakan shalat pada waktunya masing-masing sesuai kemampuan, tidak boleh shalat itu ditunda kecuali jika ingin menjamaknya dengan shalat berikutnya. Wallahu a’lam.
Baca Juga:
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumasyho.Com
Referensi:
Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Kedua, 2:347-350.